Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Desa Kepala Desa bertanggung jawab atas penggunaan Dana Desa dan menyampaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa kepada bupati/walikota.
Bupati/ walikota menyampaikan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada gubernur, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Laporan tersebut disampaikan sebelum penyaluran Dana Desa tahap berikutnya. Dalam hal kepala Desa tidak atau terlambat menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa, bupati/walikota dapat menunda penyaluran Dana Desa sampai dengan disampaikannya laporan realisasi penggunaan Dana Desa.
Selain itu sanksi juga dapat diberikan dalam hal terdapat Sisa Dana Desa di RKD lebih dari 30% (tiga puluh persen) pada akhir tahun anggaran sebelumnya. Sanksi yang dimaksud adalah berupa penundaan penyaluran Dana Desa tahun anggaran berjalan sebesar Sisa Dana Desa. Lalu apabila pada tahun anggaran berjalan masih terdapat
Sisa Dana Desa lebih dari 30% (tiga puluh persen), bupati/walikota memberikan sanksi administratif kepada Desa yang bersangkutan berupa pemotongan penyaluran Dana Desa tahun anggaran berikutnya sebesar Sisa Dana Desa tahun berjalan.
Penyalahgunaan Dana Desa merupakan Tindakan Penyelahgunaan Wewenang dimana menurut hukum hal tersebut bersifat bersifat administrasi dan pidana.
Jika bicara soal konsep penyalahgunaan wewenang, setiap kewenangan atau kekuasaan pemerintah, sebagaimana telah diuraikan terdahulu menurut ajaran hukum administrasi negara, dibatasi oleh adanya asas spesialitas (het specialiteitsbeginsel), asas legalitas (wetmatigheid van bestuur/ legaliteit beginsel) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).
Sehingga apabila pemerintah atau aparatur negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas tersebut, maka perbuatan itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de povouir). (Arma Devi, 2019)
Merujuk Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Kemudian, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih dahulu dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).
Hasil pengawasan APIP terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang berupa tidak terdapat kesalahan dalam konteks pidana, namun kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara maka terhadap tindakan penyelewengan yang dilakukan pejabat pengadaan tidak melulu dengan sanksi pidana. Pengenaan sanksi denda dapat diberikan pada kasus penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang yang bersifat administratif.
Sedangkan dalam konteks Hukum Pidana, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/PID.SUS/2017 tertanggal 6 September 2017 dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan bahwa sifat melawan hukum secara khusus yang dirumuskan dalam Pasal 3 UU Tipikor berupa penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya tidak didasarkan pada konsep perbuatan aktif dan perbuatan pasif.
Perbedaan sifat melawan hukum dalam pasal 2 dan pasal 3 tersebut menurut politik hukum pembentuk UU Tipikor terletak pada subyek hukumnya, yaitu melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah untuk subyek hukum pegawai negeri dan pejabat negara, sedang melawan hukum secara umum yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah untuk selain pegawai negeri dan pejabat negara.
Namun karena konsep tersebut mengandung cacat yuridis karena kedudukan sebagai pegawai negeri dan pejabat negara yang seharusnya menjadi langkah pemberatan pidana justru sebagai langkah memperingan pidana sehingga Yurisprudensi Mahkamah Agung membedakan Pasal 2 dan Pasal 3 dari segi memperkaya diri atau menguntungkan dan/atau besar kecilnya kerugian negara.
Mendahulukan Upaya Administrasi
Bicara dalam lingkup Pemerintahan Desa, sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, Kepala Desa adalah Pejabat Pemerintah Desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya. Artinya jika terjadi Penyalahgunaan Wewenangan yang mana itu bersifat administrasi APIP lah yang dapat terlebih dahulu mengambil langkah administrasi tersebut.
APIP di sini yaitu Inspektorat Kabupaten atau Inspektorat Provinsi akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dengan lingkup kewenangannya melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penentuan Kerugian Negara, yang menyebutkan pada intinya Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/ Satuan kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara.
Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian Negara.
Bagaimana Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Kepala Desa melakukan pidana korupsi, apakah menjadi wewenang KPK?
Jika berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Bahwa Penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK meliputi: Pejabat Negara Lembaga Tinggi Negara seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI dan DPD RI, Menteri, Gubernur, Hakim, Jaksa, Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apa artinya Kepala Desa termasuk?
Jika berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 700/1705/SJ tentang Penguatan Pengawasan Dana Desa Tahun 2020 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan kepada Bupati/Walikota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap desa yang mana kewenangan masuk dalam ranah Administrasi Negara dengan adanya peran penting Inspektur (Inspektorat) dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam ranah hukum pidananya dan bukan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lalu, jika bukan wewenang KPK apa tindaklanjut pengaduan masyarakat yang sudah terlanjur melaporkan ke KPK mengenai kewenangan pejabat selain KPK?
Berdasarkan Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Seperti kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
(Pakar)