https://picasion.com/

Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial

Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah aturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan.

https://picasion.com/

Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial mengatur tentang:

  1. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
  2. kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
  3. Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut;
  4. Jangka Benah kebun rakyat;
  5. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
  6. percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan
  7. sanksi administratif.

Jenis-jenis Hutan dalam Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial:

  1. Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
  2. Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat HKm adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
  3. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
  4. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  5. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
  6. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
  7. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.
  8. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
  9. Hutan Rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak milik

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial diteken Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Jakarta pada tanggal 1 April 2021. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial diundangkan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Widodo Ekatjahjana pada tanggal 1 April 2021 di Jakarta.

Permen LHK 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 320. Agar setiap orang mengetahuinya.

Permen LHK 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial

Dasar Hukum

Dasar Hukum Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, adalah:

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6635);
  5. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 209);
  6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);

Isi Permen LHK tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial

Berikut adalah isi Permen LHK 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, bukan format asli:

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG PENGELOLAAN PERHUTANAN SOSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat Setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan.
  2. Hutan Desa yang selanjutnya disingkat HD adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
  3. Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat HKm adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
  4. Hutan Tanaman Rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
  5. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  6. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
  7. Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
  8. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.
  9. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
  10. Hutan Rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak milik.
  11. Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh kelompok Perhutanan Sosial melalui Persetujuan Pengelolaan HD, HKm, HTR, kemitraan kehutanan, dan Hutan Adat pada kawasan Hutan Lindung, kawasan Hutan Produksi atau kawasan Hutan Konservasi sesuai dengan fungsinya.
  12. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta mengolah dan memasarkan hasil hutan secara optimal dan adil untuk kesejahteraan Masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
  13. Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat PIAPS adalah peta yang memuat areal kawasan hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial.
  14. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah pemberian akses legal Pemanfaatan Hutan yang dilakukan oleh kelompok Perhutanan Sosial untuk kegiatan Pengelolaan HD, Pengelolaan HKm, Pengelolaan HTR, kemitraan kehutanan, dan Hutan Adat pada kawasan Hutan Lindung, kawasan Hutan Produksi atau kawasan Hutan Konservasi sesuai dengan fungsinya.
  15. Persetujuan Pengelolaan HD adalah akses legal yang diberikan oleh Menteri kepada Lembaga Desa untuk mengelola dan/atau memanfaatkan hutan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Produksi.
  16. Persetujuan Pengelolaan HKm adalah akses legal yang diberikan oleh Menteri kepada perorangan, kelompok tani, gabungan kelompok tani hutan atau koperasi Masyarakat Setempat untuk mengelola dan/atau memanfaatkan hutan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Produksi.
  17. Persetujuan Pengelolaan HTR adalah akses legal yang diberikan oleh Menteri kepada kelompok tani hutan, gabungan kelompok tani hutan, koperasi tani hutan, profesional kehutanan atau perorangan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada kawasan Hutan Produksi dengan menerapkan teknik budidaya tanaman (silvikultur) yang sesuai tapaknya untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan.
  18. Persetujuan Kemitraan Kehutanan adalah persetujuan kemitraan yang diberikan kepada pemegang perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan mitra/Masyarakat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan Hutan Lindung atau kawasan Hutan Produksi.
  19. Kemitraan Konservasi adalah kerja sama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang perizinan berusaha pada kawasan konservasi dengan mitra/Masyarakat Setempat.
  20. Peraturan Desa yang selanjutnya disingkat Perdes adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dibahas dan disepakati bersama badan permusyawaratan desa.
  21. Lembaga Desa adalah lembaga yang dibentuk oleh kepala desa melalui musyawarah desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melakukan pengelolaan HD, bagi sebesar-besarnya kesejahteraan Masyarakat desa.
  22. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA adalah Masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaanya dikukuhkan dengan peraturan daerah.
  23. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau Hutan Adat.
  24. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.
  25. Wilayah Indikatif Hutan Adat adalah Wilayah Hutan Adat yang berada pada kawasan hutan negara yang belum memperoleh produk hukum dalam bentuk peraturan daerah namun wilayahnya telah ditetapkan oleh bupati/wali kota.
  26. Masyarakat Setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga Masyarakat baik perempuan dan laki-laki yang tinggal di sekitar kawasan hutan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk yang bermukim dan/atau mengelola di dalam kawasan hutan negara dibuktikan dengan memiliki komunitas sosial berupa riwayat pengelolaan kawasan hutan dan bergantung pada hutan.
  27. Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada rawa.
  28. Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya.
  29. Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus yang selanjutnya disingkat KHDPK adalah kawasan hutan negara dengan fungsi lindung dan produksi di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten yang pengelolaannya tidak diserahkan kepada badan usaha milik negara bidang kehutanan.
  30. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan kepada Masyarakat/kelompok Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk pengelolaan hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan Masyarakat.
  31. Pendamping adalah pihak yang memiliki kompetensi dalam melakukan Pendampingan terhadap Masyarakat pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, secara perorangan dan/atau kelompok dan/atau lembaga.
  32. Kemitraan Lingkungan adalah kerja sama yang melibatkan berbagai pihak secara sukarela baik itu pemerintah, swasta, Masyarakat, maupun lembaga lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya alam.
  33. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok orang termasuk MHA atau badan hukum.
  34. Perseorangan adalah Warga Negara Indonesia yang cakap bertindak menurut hukum.
  35. Jangka Benah adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.
  36. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
  37. Direktur Jenderal adalah pejabat tinggi madya yang bertanggung jawab di bidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
  38. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah unit yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
  39. Kesatuan Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien, efektif dan lestari.
  40. Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat Pokja PPS adalah kelompok kerja provinsi yang membantu kegiatan percepatan akses dan peningkatan kualitas Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  41. Kelompok Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat KPS adalah kelompok tani hutan dan/atau kelompok Masyarakat dan/atau koperasi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial serta MHA termasuk kelompok tani dan/atau kelompok Masyarakat pengelola Hutan Rakyat.
  42. Kelompok Usaha Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat KUPS adalah kelompok usaha yang dibentuk oleh KPS yang akan dan/atau telah melakukan usaha.
  43. Rencana Kelola Perhutanan Sosial yang selanjutnya disingkat RKPS adalah dokumen yang memuat rencana penguatan kelembagaan, rencana Pemanfaatan Hutan, rencana kerja usaha, dan rencana monitoring dan evaluasi.
  44. Rencana Kerja Tahunan yang selanjutnya disingkat RKT adalah penjabaran detail dan tata waktu pelaksanaan dari dokumen RKPS untuk setiap tahun.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mengatur mengenai:

  1. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
  2. kegiatan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
  3. Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut;
  4. Jangka Benah kebun rakyat;
  5. pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
  6. percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan
  7. sanksi administratif.

poster

BAB II
PERSETUJUAN PENGELOLAAN PERHUTANAN SOSIAL

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

  1. Pengelolaan Perhutanan Sosial terdiri atas:
    1. HD;
    2. HKm;
    3. HTR;
    4. Hutan Adat; dan
    5. kemitraan kehutanan.
  2. Kemitraan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang dilaksanakan pada Hutan Konservasi, diberikan dalam bentuk Kemitraan Konservasi.
  3. Pada Hutan Lindung dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HD, HKm, dan/atau kemitraan kehutanan.
  4. Pada Hutan Produksi dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HD, HKm, HTR dan/atau kemitraan kehutanan.
  5. Arahan areal Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan oleh Menteri dalam bentuk PIAPS.

Pasal 4

Pelaksanaan Kemitraan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 5

  1. PIAPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) ditetapkan melalui harmonisasi peta yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan peta yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, lembaga swadaya Masyarakat dan sumber lain.
  2. PIAPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. kawasan hutan yang dicadangkan untuk Perhutanan Sosial;
    2. kawasan hutan yang sudah dibebani Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial; dan
    3. areal KHDPK untuk kepentingan Perhutanan Sosial.
  3. PIAPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, dan direvisi setiap 6 (enam) bulan sekali oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang bertanggung jawab di bidang planologi kehutanan atas nama Menteri.

Pasal 6

  1. Akses legal Pengelolaan Perhutanan Sosial diberikan oleh Menteri dalam bentuk persetujuan atau penetapan.
  2. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. Persetujuan Pengelolaan HD;
    2. Persetujuan Pengelolaan HKm;
    3. Persetujuan Pengelolaan HTR; dan
    4. Persetujuan kemitraan kehutanan.
  3. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penetapan status Hutan Adat.

Pasal 7

  1. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dapat diberikan kepada:
    1. Perseorangan;
    2. kelompok tani hutan; atau
    3. koperasi.
  2. Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.

Pasal 8

  1. Persetujuan Pengelolaan HD, Persetujuan Pengelolaan HKm, dan Persetujuan Pengelolaan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.
  2. Jangka waktu Persetujuan Kemitraan Kehutanan pemegang perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan Masyarakat Setempat disesuaikan dengan masa berlakunya perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan dan masa berlakunya persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Pasal 9

  1. Untuk membantu percepatan akses dan peningkatan kualitas Pengelolaan Perhutanan Sosial tingkat provinsi dibentuk Pokja PPS yang ditetapkan oleh gubernur.
  2. Pokja PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
    1. sosialisasi program Perhutanan Sosial kepada Masyarakat Setempat dan para pihak terkait;
    2. melakukan pencermatan terhadap PIAPS;
    3. membantu fasilitasi permohonan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
    4. membantu melakukan verifikasi teknis permohonan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
    5. membantu fasilitasi penyelesaian konflik sosial dan tenurial Pengelolaan Perhutanan Sosial;
    6. membantu fasilitasi pemenuhan hak, pelaksanaan kewajiban dan ketaatan terhadap ketentuan dan larangan bagi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dan penetapan status Hutan Adat;
    7. membantu fasilitasi penataan areal;
    8. membantu fasilitasi penyusunan perencanaan Pengelolaan Perhutanan Sosial;
    9. membantu fasilitasi pengembangan usaha Perhutanan Sosial; dan/atau
    10. membantu pelaksanaan pembinaan dan pengendalian.
  3. Anggota Pokja PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. UPT;
    2. unit pelaksana teknis terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
    3. Pemerintah Daerah provinsi;
    4. organisasi perangkat daerah provinsi bidang kehutanan;
    5. KPH;
    6. Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
    7. Masyarakat sipil;
    8. pelaku usaha;
    9. kader konservasi; dan/atau
    10. relawan lingkungan hidup dan kehutanan.
  4. Masyarakat sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g meliputi akademisi, lembaga swadaya Masyarakat dan/atau jurnalis.
  5. Masa kerja Pokja PPS selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang.
  6. Operasional Pokja PPS dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa

Paragraf 1
Subjek Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa

Pasal 10

  1. Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a diberikan kepada Lembaga Desa.
  2. Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada 1 (satu) atau gabungan beberapa Lembaga Desa.
  3. Lembaga Desa dalam Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan:
    1. kepengurusan Lembaga Desa; dan
    2. penerima manfaat HD.
  4. Kepengurusan Lembaga Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
    1. warga desa yang memiliki ketergantungan terhadap kawasan hutan, yang telah dan/atau akan melakukan pengelolaan terhadap areal kawasan hutan yang dimohon;
    2. Perseorangan yang memiliki kompetensi di bidang kehutanan; dan/atau
    3. tokoh atau pelopor lokal yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian hutan.
  5. Penerima manfaat HD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan warga desa setempat dengan ketentuan:
    1. 1 (satu) keluarga diwakili 1 (satu) orang dengan memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan; dan
    2. belum terdaftar sebagai pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  6. Penerima manfaat HD terdiri atas:
    1. penerima manfaat langsung; dan
    2. penerima manfaat tidak langsung.
  7. Penerima manfaat langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), merupakan penggarap atau pengelola pada areal kerja.
  8. Dalam hal penggarap atau pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari luar desa setempat, dapat menjadi penerima manfaat langsung dengan melengkapi surat keterangan garapan dari kepala desa.
  9. Penerima manfaat tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), merupakan Masyarakat desa setempat yang bukan penggarap atau pengelola pada areal kerja Persetujuan Pengelolaan HD, namun secara tidak langsung mendapatkan manfaat dari hasil kegiatan pengelolaan HD.

Paragraf 2
Objek Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa

Pasal 11

  1. Areal yang dapat diberikan untuk Persetujuan Pengelolaan HD berupa:
    1. kawasan Hutan Lindung; dan/atau
    2. kawasan Hutan Produksi,
    yang belum dibebani perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan, persetujuan penggunaan kawasan hutan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  2. Areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
    1. berada di dalam PIAPS;
    2. berada di dalam wilayah desa atau areal hasil kesepakatan batas pengelolaan antara desa yang berdampingan dan dipetakan secara partisipatif oleh Masyarakat; dan/atau
    3. berada di dalam satu kesatuan lanskap/bentang alam dalam desa pemohon.
  3. Dalam hal areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di luar PIAPS, dapat diberikan persetujuan dengan pertimbangan:
    1. areal yang sudah dikelola oleh Masyarakat desa setempat; dan/atau
    2. areal yang mempunyai potensi untuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
  4. Dalam hal areal yang sudah dikelola oleh Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa tanaman sawit yang dilakukan oleh Perseorangan dan bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus, diberikan paling luas 5 (lima) hektar per orang.
  5. Perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan:
    1. kartu tanda penduduk; atau
    2. surat keterangan tempat tinggal dan/atau domisili yang diterbitkan oleh kepala desa atau lurah setempat, yang alamatnya di dalam kawasan hutan atau di desa/kelurahan yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
  6. Pembuktian terhadap Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan melalui verifikasi teknis, dan validasi data dan informasi oleh tim terpadu yang dibentuk oleh Menteri.
  7. Areal Persetujuan Pengelolaan HD paling luas 5.000 (lima ribu) hektar per unit pengelolaan.

Paragraf 3
Tata Cara Permohonan Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa

Pasal 12

  1. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HD diajukan melalui surat permohonan yang ditandatangani oleh:
    1. ketua Lembaga Desa dan diketahui kepala desa/lurah; atau
    2. ketua gabungan Lembaga Desa dan diketahui oleh para ketua Lembaga Desa dan para kepala desa/lurah atau camat setempat.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
    1. Perdes atau peraturan lainnya yang setara tentang pembentukan Lembaga Desa secara musyawarah, yang memuat pengaturan pengelolaan HD dengan prinsip pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan warga desa, kelestarian hutan dan pengelolaan lingkungan hidup;
    2. keputusan kepala desa atau yang setara tentang susunan pengurus Lembaga Desa;
    3. daftar nama pengurus Lembaga Desa dan penerima manfaat yang diketahui oleh kepala desa setempat atau yang setara dalam bentuk cetak dan digital;
    4. fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga pengurus Lembaga Desa;
    5. gambaran umum wilayah meliputi:
      1. keadaan fisik berupa topografi dan penutupan lahan;
      2. sosial ekonomi yang menggambarkan jumlah penduduk, jenis kelamin, pekerjaan, dan jumlah kepala keluarga atau demografi desa;
      3. potensi kawasan berupa jenis tanaman/hewan yang akan diusahakan, jenis tumbuhan, dan hewan yang ada di dalam areal usulan, biofisik areal usulan, serta identifikasi potensi usaha; dan
      4. pada fungsi Ekosistem Gambut memuat informasi usaha yang akan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya;
    6. pakta integritas bermeterai yang ditandatangani oleh ketua Lembaga Desa atau ketua gabungan Lembaga Desa dan diketahui oleh kepala desa/lurah atau camat bersangkutan; dan
    7. peta usulan areal yang dimohon dengan skala paling kecil 1:50.000 (satu berbanding lima puluh ribu) yang ditandatangani oleh ketua Lembaga Desa atau ketua gabungan Lembaga Desa dan diketahui oleh kepala KPH atau ketua Pokja PPS dalam bentuk cetakan dan shape file.
  3. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

  1. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 disampaikan kepada Menteri, dengan tembusan kepada:
    1. gubernur;
    2. bupati/wali kota;
    3. organisasi perangkat daerah bidang kehutanan;
    4. kepala UPT; dan
    5. kepala KPH.
  2. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara:
    1. manual; atau
    2. elektronik.
  3. Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b difasilitasi oleh Pokja PPS.
  4. Dalam hal permohonan dilakukan secara elektronik, dokumen fisik permohonan beserta lampiran, disampaikan kepada tim verifikasi teknis pada saat pelaksanaan verifikasi teknis.

Paragraf 4
Verifikasi Administrasi

Pasal 14

  1. Terhadap permohonan Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi administrasi untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian persyaratan administrasi permohonan Persetujuan Pengelolaan HD serta pencermatan terhadap subjek dan objek persetujuan.
  2. Pencermatan terhadap objek persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penelaahan peta areal yang dimohon dengan cara tumpang susun peta permohonan dengan peta tematik terbaru meliputi:
    1. peta kawasan hutan;
    2. peta hasil tata batas kawasan hutan;
    3. PIAPS;
    4. peta indikatif dan Wilayah Hutan Adat;
    5. peta perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan;
    6. peta Persetujuan Perhutanan Sosial;
    7. peta persetujuan penggunaan kawasan hutan;
    8. peta persetujuan pelepasan kawasan hutan;
    9. peta perubahan fungsi kawasan hutan;
    10. peta indikatif penghentian pemberian izin baru;
    11. peta indikatif tanah objek reforma agraria;
    12. peta rencana pengelolaan hutan jangka panjang KPH;
    13. peta arahan Pemanfaatan Hutan untuk perizinan berusaha;
    14. peta kesatuan hidrologi Gambut;
    15. peta tutupan lahan;
    16. citra satelit resolusi tinggi dan/atau citra pesawat nirawak; dan/atau
    17. peta lainnya yang terkait pada usulan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  3. Dalam melaksanakan verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menetapkan petugas verifikasi administrasi permohonan Persetujuan Pengelolaan HD.
  4. Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.
  5. Verifikasi administrasi dilakukan melalui pengisian formulir dan telaah peta dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 15

  1. Hasil verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dituangkan dalam formulir verifikasi administrasi yang memuat informasi:
    1. permohonan memenuhi syarat; atau
    2. permohonan tidak memenuhi syarat.
  2. Hasil verifikasi administrasi permohonan dinyatakan memenuhi syarat, jika dokumen permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
  3. Dalam hal hasil verifikasi administrasi menyatakan permohonan:
    1. memenuhi syarat, dilanjutkan dengan verifikasi teknis; atau
    2. tidak memenuhi syarat, Direktur Jenderal menyampaikan surat pengembalian permohonan kepada pemohon, untuk dilakukan perbaikan dengan tembusan kepada ketua Pokja PPS dan kepala KPH.
  4. Pemohon melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat pengembalian permohonan dan jika perbaikan tidak dilakukan sampai jangka waktu yang telah ditentukan, permohonan dinyatakan batal dengan sendirinya.

Paragraf 5
Verifikasi Teknis

Pasal 16

  1. Dalam melaksanakan verifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf a, Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi teknis.
  2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal memerintahkan kepala UPT.
  3. Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menugaskan tim verifikasi teknis untuk melaksanakan verifikasi teknis.
  4. Tim verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur:
    1. UPT;
    2. organisasi perangkat daerah provinsi bidang kehutanan;
    3. unit pelaksana teknis terkait Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
    4. KPH; dan/atau
    5. anggota Pokja PPS.
  5. Direktur Jenderal dapat menugaskan personel untuk melakukan supervisi dan/atau bantuan teknis pada pelaksanaan verifikasi teknis.

Pasal 17

  1. Tim verifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) melakukan verifikasi teknis terhadap:
    1. objek persetujuan; dan
    2. subjek persetujuan.
  2. Tim Verifikasi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkan surat tugas dan dapat diperpanjang sesuai dengan kondisi lapangan.
  3. Dalam hal terdapat kondisi tertentu, verifikasi teknis dapat dilakukan secara kombinasi elektronik dan manual.

Pasal 18

  1. Verifikasi teknis terhadap objek persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dilakukan melalui:
    1. telaahan peta; dan
    2. pemeriksaan lapangan.
  2. Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap objek persetujuan dengan menggunakan alat bantu global positioning system dan/atau pesawat nirawak, dengan cara mengambil titik koordinat, meliputi:
    1. kantor desa/kelurahan dan/atau lokasi diskusi;
    2. batas kawasan hutan;
    3. batas perizinan bidang kehutanan dan perizinan bidang lainnya;
    4. batas luar areal yang dimohon sesuai petunjuk pemohon;
    5. titik ikat alam dapat berupa muara sungai, persimpangan jalan, dan situs;
    6. beberapa titik lokasi pengelolaan di dalam areal yang dimohon;
    7. beberapa titik kondisi biofisik tutupan lahan termasuk tutupan lahan sawit; dan/atau
    8. beberapa titik potensi kawasan.
  3. Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memperoleh fakta, data, dan informasi:
    1. letak dan batas areal yang dimohon;
    2. fungsi kawasan areal yang dimohon;
    3. keberadaan perizinan berusaha bidang kehutanan dan perizinan lainnya pada areal yang dimohon;
    4. keberadaan permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan tanaman sawit pada areal yang dimohon;
    5. status areal yang dimohon pada peta PIAPS, peta tanah objek reforma agraria, peta indikatif penghentian pemberian izin baru, dan peta Ekosistem Gambut;
    6. kondisi biofisik areal yang dimohon;
    7. potensi pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu, hasil hutan kayu, dan jasa lingkungan pada areal yang dimohon; dan
    8. aksesibilitas dan jarak dari permukiman pemohon ke areal yang dimohon.
  4. Hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam peta hasil verifikasi teknis yang ditandatangani oleh tim verifikasi teknis, dengan layer peta sesuai keperluan berupa:
    1. batas areal yang dimohon;
    2. batas areal hasil verifikasi teknis;
    3. titik koordinat hasil pemeriksaan lapangan;
    4. batas kawasan hutan;
    5. batas perizinan berusaha bidang kehutanan/non kehutanan;
    6. batas peta indikatif penghentian pemberian izin baru;
    7. batas kawasan hidrologis Gambut;
    8. batas wilayah administratif; dan/atau
    9. rupa bumi Indonesia berupa jaringan jalan, jaringan sungai, dan permukiman.
  5. Verifikasi terhadap objek persetujuan dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dengan mempertimbangkan:
    1. zonasi pengelolaan kawasan hutan dalam rencana pengelolaan hutan jangka panjang;
    2. batasan administratif;
    3. batas wilayah Hutan Adat;
    4. tutupan lahan sawit dan hutan alam primer;
    5. areal indikatif tanah objek reforma agraria;
    6. areal peta indikatif penghentian pemberian izin baru;
    7. kondisi Ekosistem Gambut; dan/atau
    8. penguasaan pihak ketiga.
  6. Penambahan luas areal Persetujuan Pengelolaan HD dimungkinkan dengan pertimbangan penyesuaian batas alam, batas kawasan, dan batas garapan.
  7. Dalam hal penambahan luas areal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) lebih dari 5% (lima persen), pemohon wajib merevisi surat permohonan.

Pasal 19

  1. Verifikasi teknis terhadap subjek Persetujuan Pengelolaan HD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan pengurus Lembaga Desa, perwakilan penerima manfaat, kepala desa/lurah, tokoh Masyarakat, tokoh adat, dan/atau camat setempat.
  2. Proses verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihadiri oleh seluruh pengurus Lembaga Desa dan perwakilan penerima manfaat.
  3. Dalam hal terdapat pengurus Lembaga Desa yang tidak hadir, proses verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan oleh ketua Lembaga Desa dan membuat surat pernyataan.
  4. Diskusi dan wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk mengetahui dan memastikan fakta, data, dan informasi:
    1. dokumen permohonan;
    2. status kelembagaan pemohon;
    3. daftar penerima manfaat HD;
    4. komoditas atau jenis pemanfaatan yang telah dan akan diusahakan pemohon; dan
    5. identifikasi potensi konflik sosial dan tenurial pada objek persetujuan.
  5. Pemeriksaan status kelembagaan pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan melalui pemeriksaan:
    1. Perdes;
    2. penetapan susunan pengurus Lembaga Desa dengan surat keputusan kepala desa/lurah atau camat setempat; dan
    3. daftar nama pengurus Lembaga Desa berdasarkan kartu tanda penduduk, nomor induk kependudukan, kartu keluarga dan alamat pemohon.
  6. Subjek persetujuan yang dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

Pasal 20

  1. Tim verifikasi teknis menuangkan fakta, data, dan informasi terkait subjek dan objek persetujuan yang dapat atau tidak dapat dipertimbangkan ke tahap berikutnya ke dalam berita acara verifikasi teknis yang ditandatangani oleh tim verifikasi teknis.
  2. Ketua tim verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil verifikasi teknis kepada Kepala UPT.
  3. Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan hasil verifikasi teknis kepada Direktur Jenderal.
  4. Berdasarkan hasil verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Persetujuan Pengelolaan HD atau surat penolakan permohonan Persetujuan Pengelolaan HD.
  5. Berita acara verifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Bagian Ketiga
Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan

Paragraf 1
Subjek Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan

Pasal 21

  1. Persetujuan Pengelolaan HKm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dapat diberikan kepada:
    1. Perseorangan;
    2. kelompok tani; atau
    3. koperasi.
  2. Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan tergabung atau membentuk kelompok Masyarakat.
  3. Kelompok tani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kelompok tani hutan atau gabungan kelompok tani hutan.
  4. Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan ketentuan koperasi setempat yang bergerak di bidang pertanian, hortikultura, peternakan, dan/atau kehutanan.
  5. Anggota kelompok Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kelompok tani hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit berjumlah 15 (lima belas) orang.
  6. Dalam hal anggota kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berjumlah lebih dari 300 (tiga ratus) orang dapat membentuk gabungan kelompok tani hutan.
  7. Anggota kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) yang dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HKm berasal dari:
    1. Masyarakat Setempat dengan mengutamakan pengelola pada areal yang dimohon yang mempunyai ketergantungan hidup pada lahan kawasan hutan;
    2. profesional kehutanan atau Perseorangan yang memperoleh pendidikan kehutanan, atau bidang ilmu lainnya yang berpengalaman di bidang kehutanan atau pernah sebagai Pendamping atau penyuluh di bidang kehutanan; dan/atau
    3. Masyarakat luar desa setempat yang sudah mengelola areal yang dimohon secara turun temurun atau 5 (lima) tahun terakhir berturut-turut yang dinyatakan dengan surat keterangan kepala desa atau lurah setempat.
  8. Anggota kelompok yang dapat diberikan Persetujuan Pengelolaan HKm sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan ketentuan:
    1. 1 (satu) keluarga diwakili 1 (satu) orang dengan memberikan kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan; dan
    2. belum terdaftar sebagai pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Paragraf 2
Objek Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan

Pasal 22

  1. Areal yang dapat diberikan untuk Persetujuan Pengelolaan HKm berupa:
    1. Hutan Lindung; dan/atau
    2. Hutan Produksi,
    yang belum dibebani perizinan berusaha, persetujuan penggunaan kawasan hutan, atau Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  2. Areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
    1. berada di dalam PIAPS; dan/atau
    2. areal yang sudah dikelola oleh pemohon.
  3. Dalam hal areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di luar PIAPS, dapat diberikan persetujuan dengan pertimbangan areal yang dimaksud sudah dikelola oleh Masyarakat.
  4. Dalam hal areal yang sudah dikelola oleh Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa tanaman sawit yang dilakukan oleh Perseorangan dengan ketentuan membentuk kelompok dan bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus, diberikan paling luas 5 (lima) hektar per orang.
  5. Perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan:
    1. kartu tanda penduduk; atau
    2. surat keterangan tempat tinggal dan/atau domisili yang diterbitkan oleh kepala desa/lurah atau camat setempat, yang alamatnya di dalam kawasan hutan atau di desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
  6. Pembuktian terhadap Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan melalui verifikasi teknis dan validasi data dan informasi oleh tim terpadu yang dibentuk oleh Menteri.
  7. Areal Persetujuan Pengelolaan HKm diberikan dengan ketentuan luasan:
    1. per unit pengelolaan paling luas 5.000 (lima ribu) hektar; dan
    2. per kepala keluarga paling luas 15 (lima belas) hektar.

Paragraf 3
Tata Cara Permohonan Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan

Pasal 23

  1. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm diajukan melalui surat permohonan yang ditandatangani oleh:
    1. ketua kelompok Masyarakat;
    2. ketua kelompok tani atau kelompok tani hutan;
    3. ketua gabungan kelompok tani hutan; atau
    4. ketua pengurus koperasi.
  2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
    1. identitas pemohon Persetujuan Pengelolaan HKm meliputi:
      1. daftar nama pengurus dan anggota:
        1. kelompok Masyarakat;
        2. kelompok tani atau kelompok tani hutan;
        3. gabungan kelompok tani hutan; atau
        4. koperasi, yang diketahui oleh kepala desa/lurah, atau camat setempat; dan
      2. fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga,
      dalam bentuk cetak, dan digital;
    2. gambaran umum wilayah, dapat berupa keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi, dan potensi kawasan:
      1. keadaan biofisik yang menggambarkan topografi dan penutupan lahan;
      2. sosial ekonomi yang menggambarkan jumlah penduduk, jenis kelamin, pekerjaan, dan jumlah kepala keluarga atau demografi desa;
      3. potensi kawasan berupa jenis tanaman/hewan yang akan diusahakan, jenis tumbuhan dan hewan dan biofisik yang ada di dalam areal usulan dan identifikasi potensi usaha; dan
      4. pada fungsi Ekosistem Gambut memuat informasi usaha yang akan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya.
    3. peta usulan lokasi paling kecil skala 1:50.000 (satu berberbanding lima puluh ribu) yang ditandatangani oleh ketua kelompok, ketua kelompok tani, ketua kelompok tani hutan, ketua gabungan kelompok tani hutan, atau ketua pengurus koperasi pemohon, dan diketahui oleh kepala KPH atau ketua Pokja PPS berupa cetakan dan shape file;
    4. pakta integritas bermeterai yang ditandatangani oleh ketua kelompok, ketua kelompok tani, ketua kelompok tani hutan, ketua gabungan kelompok tani hutan, atau ketua pengurus koperasi pemohon; dan
    5. surat pembentukan kelompok kelompok tani, kelompok tani hutan, gabungan kelompok tani hutan, atau akta pendirian koperasi.
  3. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 24

  1. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 disampaikan kepada Menteri, dengan tembusan kepada:
    1. gubernur;
    2. bupati/wali kota;
    3. pimpinan organisasi perangkat daerah provinsi yang membidangi kehutanan;
    4. kepala UPT; dan
    5. kepala KPH;
  2. Permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara:
    1. manual; atau
    2. elektronik.
  3. Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b difasilitasi oleh Pokja PPS.

Paragraf 4
Verifikasi Administrasi

Pasal 25

  1. Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan verifikasi administrasi untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian persyaratan administrasi permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm serta pencermatan terhadap subjek dan objek persetujuan.
  2. Pencermatan terhadap objek persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui penelaahan peta areal yang dimohon dengan cara tumpang susun peta permohonan dengan peta tematik terbaru meliputi:
    1. peta kawasan hutan;
    2. peta hasil tata batas kawasan hutan;
    3. PIAPS;
    4. peta indikatif dan Wilayah Hutan Adat;
    5. peta perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan;
    6. peta persetujuan Perhutanan Sosial;
    7. peta persetujuan penggunaan kawasan hutan;
    8. peta persetujuan pelepasan kawasan hutan;
    9. peta perubahan fungsi kawasan hutan;
    10. peta indikatif penghentian pemberian izin baru;
    11. peta indikatif tanah objek reforma agraria;
    12. peta rencana pengelolaan hutan jangka panjang KPH;
    13. Peta arahan Pemanfaatan Hutan untuk perizinan berusaha;
    14. peta kesatuan hidrologi Gambut;
    15. peta tutupan lahan;
    16. citra satelit resolusi tinggi dan/atau citra pesawat nirawak; dan/atau
    17. peta lainnya yang terkait pada usulan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  3. Dalam melaksanakan verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menetapkan petugas verifikasi administrasi permohonan Persetujuan Pengelolaan HKm.
  4. Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima.
  5. Verifikasi administrasi dilakukan melalui pengisian formulir dan telaah peta dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 26

  1. Hasil verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dituangkan dalam formulir verifikasi administrasi yang memuat informasi:
    1. permohonan memenuhi syarat; atau
    2. permohonan tidak memenuhi syarat.
  2. Hasil verifikasi administrasi permohonan dinyatakan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, jika dokumen permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
  3. Dalam hal hasil verifikasi administrasi menyatakan permohonan:
    1. memenuhi syarat, dilanjutkan dengan verifikasi teknis; atau
    2. tidak memenuhi syarat, Direktur Jenderal menyampaikan surat pengembalian permohonan kepada pemohon, untuk dilakukan perbaikan dengan tembusan kepada ketua Pokja PPS dan kepala KPH.
  4. Pemohon melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat pengembalian permohonan, dan apabila perbaikan tidak dilakukan sampai jangka waktu yang telah ditentukan, permohonan dinyatakan batal dengan sendirinya.
https://picasion.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://picasion.com/