Berbicara integritas, nama Mohammad Hatta wajib masuk dalam deretan posisi puncak tokoh Indonesia terbaik. Menyandang gelar Bapak Proklamator Indonesia bersama Soekarno, Bung Hatta terkenal akan kehidupannya yang jujur dan bersahaja. Saking jujurnya, dia rela meninggalkan berbagai kemewahan dan keistimewaan yang sudah selayaknya diperolehnya sebagai seorang Wakil Presiden Indonesia.
Secarik guntingan iklan koran menjadi saksi bisu betapa julukan “Mahatma Gandhi dari Jawa” layak disematkan untuk Bung Hatta. Iklan koran tersebut ditemukan terselip di dalam dompetnya, ditemukan keluarganya, setelah Hatta wafat pada 1980.
Kertas itu memperlihatkan iklan sepatu Bally, merek sandang berbalut kulit mewah asal Swiss. Betapa Bung Hatta mengidamkan memiliki sepatu tersebut sampai-sampai gambarnya tersimpan rapi di dompet, seperti pria kasmaran yang meletakkan foto kekasih yang dirindukan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally itu tak terbeli.
Padahal sebagai seorang wakil presiden, pernah juga menjabat perdana menteri, seharusnya mudah saja bagi Hatta membeli sepatu tersebut. Tapi ini kita bicara Bung Hatta, negarawan sejati yang mencurahkan seluruh hidupnya dan rela berkorban untuk bangsa dan negara. Kesederhanaan dan kejujuran menjadi kepribadian yang melekat pada diri Bung Hatta.
Lahir di Fort de Kock (Bukittinggi) pada 12 Agustus 1902, Hatta sebenarnya berasal dari keluarga berada dan terpandang. Dia memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Melayu Fort De kock pada 1913, lalu pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang pada 1916. Setelah lulus, ia meneruskan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama.
Hatta yang gemar terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia kemudian menimba ilmu di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam pada 1921. Ia bergabung dengan Indische Vereniging yang lantas berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada 1926, Hatta menjadi pemimpin organisasi pergerakan nasional di Belanda tersebut.
Halida, putri Hatta lainnya, pernah juga mengalami hal serupa. Ketika kuliah di Universitas Indonesia, Halida ikut membayar uang semester sebesar Rp30 ribu. Pihak kampus yang akhirnya tahu bahwa Halida adalah putri Hatta, memutuskan membebaskan biaya kuliahnya. Namun Hatta menolaknya, dengan alasan masih sanggup, dan biarlah keistimewaan itu untuk mereka yang benar-benar tidak mampu.
Pada 1950 ibu Bung Hatta, Siti Saleha, ingin bertemu putranya. Hatta lantas meminta keponakannya, Hasjim Ning untuk menjemput ke Sumedang. Hasjim mengusulkan agar Ibu Siti dijemput dengan mobil dan supir wapres saja, agar muncul kebanggaan. Tapi Hatta marah dan menolaknya.
“Tidak bisa. Mobil ini bukan kepunyaanku, tapi kepunyaan negara,” kata Hatta ketika itu.
Hatta juga menerapkan keadilan di keluarganya. Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan senering atau pemotongan nilai uang dari Rp100 menjadi Rp1, tidak ada satu pun keluarganya yang mendapatkan info sebelumnya. Akibatnya, tabungan Rahmi menurun jumlahnya. Padahal uang itu telah ditabungnya sejak lama untuk membeli mesin jahit.
Senering yang diumumkan Hatta itu adalah rahasia negara. Karena jika ada seorang yang tahu, bisa saja dia membeli emas sebelum senering lalu menjualnya dengan harga yang baru, untung besar. Hatta tidak punya pikiran sepicik itu dan menyimpan rahasia rapat-rapat, bahkan terhadap istrinya sendiri.
“Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan negara,” kata Hatta untuk menenangkan Rahmi.
Usai tidak lagi menjabat wakil presiden, sikap tersebut masih teguh dipegang Hatta. Dikutip dari buku “Orange Juice: Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa” terbitan KPK, Mahar Mardjono mantan Rektor Universitas Indonesia yang juga seorang dokter, menjadi saksinya.
Pada 1970-an, Mahar mendampingi Bung Hatta berobat di luar negeri. Saat singgah di Bangkok, Hatta bertanya kepada sekretarisnya soal jumlah sisa uang yang diberi pemerintah untuk berobat.
“Ternyata sebagian uang masih utuh karena ongkos pengobatan tak sebesar dari dugaan. Segera Hatta memerintahkan mengembalikan uang sisa itu kepada pemerintah via Kedubes RI di Bangkok,” kata Mahar.
Kebencian Hatta terhadap koruptor ditunjukkan dalam wasiat kepada keluarganya, lima tahun sebelum dia wafat. Dalam wasiat itu, dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, betapapun dia layak disemayamkan di situ.
“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya,” bunyi wasiat Hatta.
Alasannya, Hatta memprotes pemakaman Ahmad Thahir di pemakaman tersebut. Ahmad Thahir adalah perwira militer tangan kanan Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo, yang terlibat kasus mega korupsi Pertamina. Jenderal Hoegeng mengikuti jejak Hatta, menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Hatta meninggal dunia pada 14 Maret 1980 dan dimakamkan di Tanah Kusir, di tengah rakyat biasa. Ribuan orang memberikan penghormatan terakhir di Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Indonesia ketika itu berduka, kehilangan sosok proklamator yang mengabdikan hidupnya untuk negeri.
Kesederhanaan hidup dan sikap antikorupsi Bung Hatta layak menjadi teladan dan cerminan bagi para pemuda yang akan mengemban masa depan Indonesia.
Sumber Link : https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230213-bung-hatta-dan-sepatu-bally-yang-tak-terbeli