Foto  

Simak Komentar: Setujukah Koruptor di Hukum Mati?

Trinusa.org – Cikarang 13/04/2023 Beberapa waktu lalu dalam aplikasi media sosial, muncul hashtag opini #PantaskahKoruptorDihukumMati?

Kemungkinan hashtag ini muncul karena dugaan korupsi pajak dan kejanggalan transaksi sejumlah 300 Triliun. 

Sebagian besar dari pengguna aplikasi menyuarakan pendapatnya dalam forum:

  • “Setuju banget kalau bisa dihukum g—–g di tengah alun-alun” (Man***)
  • “Dari dulu masyarakat setuju, dimu—–i baru dik—– ma—– an—– juga setuju masyarakat” (Muh***)
  • “Harus! Mereka mengha—–rkan sendi-sendi bangsa, menyengsarakan rakyat dan bangsa” (Gel***)

Kebanyakan menginginkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi karena merugikan negara dari segala aspek.

Dari permukaan, hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi bisa jadi langkah yang tegas dan diharapkan memberi efek jera. Tetapi, mengapa hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi belum diberlakukan?

Keputusan untuk memberikan hukuman mati adalah keputusan yang sangat serius dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Berdasarkan artikel dari BBC Indonesia dan The Columnist, hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi bisa jadi sangat kompleks dan tidak semudah yang kita pikirkan. 

Ada beberapa alasan mengapa hukuman ini belum diberlakukan, yaitu;

Memunculkan Masalah yang Lebih Berbahaya

Jika kita berpikir lebih kritis, saat pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti melakukan tindakannya sudah pasti mendapat hukuman mati, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku tersebut akan lebih berani demi bertahan hidup.

Saat membuat regulasi atau hukum, penting untuk kita memutar pikiran dari sudut pandang atau logika pelaku. Sebab setiap regulasi atau hukuman diharapkan mampu memberi efek jera, bukan memperkeruh masalah.

Misalnya, jika hukuman mati ditetapkan untuk tindak pidana pencurian, belum tentu menghalangi pelaku. Malah tingkat kriminalitas makin bertambah. Pelaku pencurian akan tetap mencuri dan melakukan aksi pembunuhan demi menutupi jejaknya.

Sebab, dari logika pelaku pencurian, akan lebih baik membunuh saksi mata daripada dirinya dilaporkan dan dihukum mati, contohnya hukuman mati untuk pelaku tindak korupsi yang tidak efektif di Kenya.

Belum Tentu Menghukum Pelaku yang Sebenarnya

Ada kemungkinan jika hukuman mati salah sasaran. Untuk melindungi diri, pelaku tindak pidana korupsi bisa mengarahkan atau memalsukan (fabrication) bukti-bukti mengacu ke orang yang tidak bersalah (framing) demi menyelamatkan diri. 

Kemudian, kesalahan itu bisa menjadi tragedi besar bagi keluarga dan teman-teman orang yang tidak bersalah itu.

Mengingat masalah psikologis di balik perilaku koruptif yang sering kali disebabkan oleh rasa tidak percaya diri (insecure), menetapkan hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi bisa jadi sangat kompleks. 

Sebab, orang yang kurang percaya pada kemampuan dirinya, bisa menghalalkan segala cara untuk mengendalikan keadaan dan situasi. 

Jika ingin mendalami hal tersebut, kita bisa mampir ke artikel Psychology Today tentang “penyalahgunaan kekuasaan sebagai patologi” atau “psychopathology dari tindakan koruptif”.

Perlunya Alternatif 

Diperlukan jenis hukuman yang dapat memberi efek jera agar pelaku tindak pidana korupsi tidak mengulangi kesalahannya dan tidak menambah keruh masalah yang ingin diselesaikan. Hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi juga perlu disertai strategi anti-korupsi yang dapat membersihkan akar penyebabnya.

Selain itu, pemberantasan korupsi juga membutuhkan kerja sama kita, pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya. Kita harus bersatu untuk memerangi korupsi dan membangun tata kelola yang bersih dan baik di seluruh sektor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *