Semua saling pegang kartu buruk dalam panggung politik kita di Indonesia. Lonceng perang politik mulai dibunyikan. Nama Harun Masiku kembali muncul. Ketua Komisi IV DPR RI Sudin, yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) telah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Begitu cepatnya konstelasi politik berubah.
Begitu pula dengan adanya penggeledahan rumah Anggota Komisi IV DPR Vita Ervina, dari Fraksi PDI Perjuangan yang dilakukan KPK (Rabu, 15 November 2023). Harus diskusi ketegangan politik menuju Pilpres 2024 kini meningkat eskalasinya. Apakah Megawati dan Presiden Jokowi nanti bertemu untuk mendamaikan kekisruhan politik saat ini?.
Publik telah dihidangkan ragam tontonan dari pentas politik. Ditambah lagi dengan mencuatnya pemberitaan yang menggambarkan ketidakharmonisan hubungan antara PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi. Keakraban mereka tergerus, tak seperti dahulu. Imbasnya, publik dapat membaca sinyal keretakan hubungan.
Sekadar menelisik. Partai NasDem seperti telah ditarget dimana lahirnya 2 korban Tersangka korupsi. Diantaranya Johnny Plate dan Syahrul Yasin. Bisa jadi ini sebagai sesembahan tumbal dari politik saling teror yang dilakukan elit politik kita. Menjijikan sebetulnya. Negosiasi dan kode-kode tak lazim dilakukan. Mengancam untuk melahirkan kompromi politik dibangun.
KPK seperti diarahkan tangan gaib. Ada alat kontrol, dan yang mengendalikan. Karena di luar sana, banyak rakyat yang resah atas ketidakadilan yang ditunjukkan KPK dalam penanganan kasus korupsi. Praktek pilih-pilih kasus, diskriminasi yang dilakukan Komisioner KPK nampak kelihatan di mata publik.
Panggung politik yang terkonstruksi selama beberapa tahun ini akhirnya berbalik. Benturan politik terjadi. Mulai ada perubahan postur politik, dimana Presiden Jokowi yang merupakan petugas partai telah berjarak dengan partainya sendiri. Jokowi dan Megawati seperti tidak akur.
Publik disajikan pameran yang tidak etis. Sekutu lama sudah saling menghajar secara politik. Gibran Rakabuming anak Presiden Jokowi dianggap sebagai jawaban atas terkristalisasinya konflik kepentingan PDI Perjuangan dengan Jokowi. Konsekuensi terburuknya muncul satire ada anak haram konstitusi.
Pilpres 2024 menjadi begitu problematik sejak awal. Politik tukar tambah terjadi. Kita telah mempelajari riuh politik di tanah air bahwa para politisi memperlihatkan keahliannya berpolitik dengan genre masing-masing. Saking kerasnya, praktek politik mampu menyambar mahkota Lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversi yang menjadi karpet merah, jalur khusus bagi Gibran menjadi Cawapres Republik Indonesia mendampingi Prabowo membuat publik berspekulasi. Ada yang menyebut lahirnya relasi kuasa, antara sang ayah Gibran yang ada Presiden Jokowi.
Kemudian, peran sang paman Gibran, yakni Anwar Usman yang merupakan Ketua MK. Maka, hasilnya Gibran lolos menjadi Cawapres, dan pamannya dipecat, dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Publik direcoki dengan pemandangan kotor tentang aroma politik dinasti. Ini karena ada ”behind design”.
Ketika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang ketentuan tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres tersebut melahirkan polemik yang serius. Simpulannya ini tendensius. Terbukti dari keributan itu, Gibran disebut-sebut sebagai Capres yang cacat hukum.
KPK akhirnya dipelintir menjadi Mahkamah Keluarga. Menyedihkan. Kita patut khawatir MK dan KPK di akhir kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi hilang marwahnya. Jangan sampai Presiden sendiri yang men-downgrade MK dan KPK. Itu sebabnya, rakyat Indonesia patut mengawal Pilpres 2024.
Benarkah KPK dikendalikan Presiden Jokowi ataukah ada tangan gaib yang mengendalikannya?. Di era yang penuh keterbukaan ini rasanya tak ada yang namanya ”invisible hand”. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dari semua pemangku kepentingan. Pasti ada aktor yang menggerakkan, tidak ada yang tiba-tiba jatuh dari langit.
Ketika MK dan KPK diobok-obok, maka Polri, TNI, Kejaksaan Agung, hingga KPU, Bawaslu, juga DKPP akan terancam mengalami nasib yang sama. Publik harus berdoa meminta kepada sang khalik agar negara ini dijauhkan dari perbuatan curang dalam proses Pemilu. Agar tidak terpilih pemimpin laknatullah.
Selain itu, proteksi publik terhadap semua tahapan Pilpres 2024 harus terus ditingkatkan. Bagaimanapun, dalam konteks bernegara Institusi atau Lembaga yang disebut di atas berada di bawah kendali Presiden Jokowi. Sehingga cukup mudah intervensi dilakukan demi memenangkan satu pasangan Capres.
Jangan lagi yang disembunyikan dengan berbagai metafora. Rakyat berharap pemimpin di negara ini bertanggungjawab, ucapannya harus tulus, lalu dipegang betul ucapannya itu. Jangan di mulut lain, lalu dalam tindakan sang pemimpin itu ternyata juga lain. Ada inkonsistensi. Pemimpin yang ideal itu yang dipegang adalah omongannya.
Bahaya jika menjadi pemimpin pendusta. Pemimpin yang dari omongannya saja tidak dipercaya publik, maka runtuhlah kepemimpinan itu. Sebaiknya, ia tahu diri dan mundur segera melepaskan jabatannya. Karena dianggap tidak ada manfaatnya lagi buat rakyat banyak. Jika bertahan pada kedudukannya, ia malah melahirkan mudharat.
Terkait NasDem dan PDI Perjuangan yang kini di intai KPK, ada yang membaca fenomena ini sebagai karma politik. Sebagian menyebutnya sebagai praktek politik pengingkaran. Ada sikap tidak terpuji dari pemimpin yang tidak mengedepankan sikap balas budi. Seperti kacang lupa akan kulitnya.
Persepsi publik juga menyebut politik balas dendam turut dipicu oleh adanya keserakahan politik. Para elit di negara ini sudah saling sandera kepentingan. Bila tak ada titik temu, maka yang kuat dan mampu mengendalikan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung berpotensi menyalahgunakan kewenangan untuk menghajar lawan politiknya
Tak ada nurani dan kemanusiaan yang dijadikan prinsip berpolitik. Yang ada malah politik ala Niccolo Machiavelli yaitu menghalalkan segala cara untuk menang. Begitu rendahnya moralitas politisi seperti ini. Tidak ada sikap negarawan sama sekali. Tentu yang semacam itu sangat tidak layak dicontoh publik. Mereka akan dikutuk sejarah.
Ketika ditelisik, kenapa NasDem dan PDI Perjuangan ditarget KPK. Hal itu tidak bisa lepas dari berbeda haluan politik mereka dengan Presiden Jokowi. Dimana Jokowi dipastikan mendukung anaknya Gibran, yang berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto. Sementara PDI Perjuangan mendukung Ganjar Mahfud. Lalu, NasDem mendukung Anies Muhaimin. Perbedaan ini tentu menjadi motif dan trigger kenapa kedua partai tersebut seperti dicari-cari kesalahannya.