https://picasion.com/

Yuk, Pahami Sekilas tentang Teori Tindak Kecurangan (Fraud)

Rumus Robert Klitgaard ini seolah menjadi konklusi atas teori-teori fraud yang sebelumnya sudah dicetuskan oleh para ahli.

Ilustrasi. Foto: freepik.com
TINDAK kecurangan (fraud) menurut Donald R. Cressey, pakar studi kejahatan terorganisasi, kriminologi, dan white-collar crime, muncul karena tiga hal, antara lain tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Ia menyebutnya sebagai teori The Fraud Triangle.
Teori Cressey pada 1950 itu lalu disempurnakan oleh David T. Wolfe & Dana R. Hermanson (2004) dalam bukunya The Fraud Diamond: Considering The Four Elements of Fraud.
Dalam bukunya, mereka menyampaikan teori tentang penyebab terjadinya tindak kecurangan yang disebut The Fraud Diamond Theory. Dalam teori baru ini, mereka menambahkan satu faktor baru yaitu kapabilitas (capability) yaitu kemampuan suatu jabatan, wewenang, otoritas, kedudukan, atau pengetahuan atas suatu sistem yang ada, yang dapat menjadi faktor pendorong seseorang melakukan tindak kecurangan.
Selain kedua teori yang disebutkan di atas, masih ada teori lainnya yang juga menjelaskan mengapa bisa terjadi tindak kecurangan, termasuk di dalamnya korupsi. Yuk, cek di bawah ini:
Pertama, The Crowe Fraud Pentagon
Crowe Howarth pada 2011 mencetuskan teori baru yang mencoba menyempurnakan teori Cressey dan Wolfe & Hermanson melalui teori The Crowe Fraud Pentagon.
Horwarth menambahkan faktor pemicu tindak kecurangan dua hal yaitu kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance).
Dalam buku Membudayakan Kepedulian Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi (KPK: 2021), Howarth mengartikan kompetensi yaitu kemampuan seseorang dalam mengabaikan kontrol internal, mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengontrol situasi sosial untuk keuntungan pribadinya.
Sementara itu, arogansi merupakan sikap superioritas atas hak yang dimiliki oleh seseorang dan merasa bahwa internal kontrol atau kebijakan di suatu instansi tidak berlaku untuk dirinya.
Teori fraud juga disampaikan oleh seorang akademisi Amerika Serikat yang berfokus melakukan penelitian mengenai korupsi dan akuntansi forensik, yaitu Jack Bologne (1995). Ia menyuguhkan GONE theory yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul Handbook of Corporate Fraud.
GONE merupakan paduan dari empat kata: greedy (rakus, tidak pernah puas), opportunity (kesempatan/peluang karena celah aturan), need (kebutuhan atau tekanan seseorang untuk akhirnya korupsi), dan exposure (pengungkapan atas kasus korupsi yang tidak memberikan efek jera bagi pelakunya).
Kedua, The Fraud Theory C = M + D – A
Robert Klitgaard (1998), profesor dari International Development and Security RAND Graduate School, Santa Monica, AS mengungkapkan kecurangan berpotensi terjadi karena terdapat faktor kekuasaan dan monopoli yang mana tidak dibarengi dengan akuntabilitas.
Berdasarkan konsep yang dijelaskan oleh Klitgaard tersebut, persamaan korupsi dirumuskan sebagai berikut: C = M + D – A. Penjelasannya yaitu C = corruption, M = monopoly, D = discretion of officials, dan A = accountability.
Dari rumusan tersebut dapat diartikan semakin banyak peluang monopoli yang ada di suatu negara, maka semakin besar kasus korupsi di dalamnya. Semakin besar wewenang melakukan diskresi yang diberikan pada pejabat pemerintahan, semakin besar kemungkinan dan peluang korupsinya.
Namun demikian, semakin tinggi akuntabilitas untuk tindakan yang dilakukan, semakin kecil probabilitas berbuat korupsi. Maka dari itu, rumus dari Klitgaard ini seolah menjadi konklusi atas teori-teori fraud yang sebelumnya sudah dicetuskan oleh para ahli. Alasannya, karena teori ini mampu dalam menekan, menurunkan, bahkan menghentikan korupsi yang terjadi di lingkungan sekitar.
Caranya? Tentu saja, dengan membangun akuntabilitas lewat penciptaan sistem yang baik, adanya transparansi, serta berkeadilan. Menurutnya, pengawasan yang lemah—baik dari internal dan eksternal—merupakan faktor pendorong banyaknya pihak yang melakukan tindakan kecurangan seperti korupsi. Akan tetapi, apabila dilakukan perbaikan sistem yang lebih baik, adanya sanksi, dan lainnya, tentu dapat mengurangi tindakan curang tersebut.
Di lain sisi, terjadinya kecurangan yang membuat seseorang nekat melakukan tindakan korupsi juga bisa disebabkan karena tidak adanya integritas. Absennya integritas pada diri seseorang berpotensi menyebabkannya untuk terus mencari celah di sistem yang ada untuk memenuhi nafsu keserakahannya.
Seperti pernyataan sejarawan moralis Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton atau Lord Acton yang terkenal: power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Ketika dihadapkan dengan kekuasaan dan kesempatan, nilai integritas yang berada pada diri seseorang berperan penting sebagai kompas moral yang akan memandu orang tersebut untuk berperilaku. Nilai integritas akan membantu seseorang untuk senantiasa berperilaku jujur.
Integritas memiliki akar kata Latin “integer” yang berarti “seluruh” (“whole or entire”). Jadi, sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh atau tidak terbagi. Meski sesuatu yang berintegritas terdiri dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya selalu terjaga sebagai hasil dari hubungan timbal balik yang kuat elemen-elemennya.

https://picasion.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

https://picasion.com/