Regenerasi Pertanian dan Pudarnya Ciri Agraria Indonesia

Poto By Panji. Acara Festifal Pasar Leuweung Jayawangi

Trinusa.org

Warga Ciptagelar Kab. Sukabumi dengan Budaya LEUIT

Setelah Rombongan Dewan Pimpinan Nasional Triga Nusantara Indonesia mengukuhkan Struktural DPC Kab. Sukabumi dengan Andi Irawan Alias Gesang asli warga Ciptagelar sebagai Ketuanya(12/02/2023). Rombongan melanjutkan perjalanannya untuk Berkunjung Kesalah satu desa adat yang ada didaerah Ciptagelar Sinarasa Kab. Sukabumi, penulis mersakan sudut pandang lain tentang ketahanan pangan yang dilakukan diwilayah adat Ciptagelar dengan cara menyimpan dilumbung lumbung padi yang jaraknya tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya, wargapun tidak pernah menjual hasil dari yang mereka panen keluar daerah

Dewan Pakar Kepanggungan DKI Jakarta kunjungi Budaya LEUIT atau lumbung di kasepuhan sirnarasa

Anak Muda, Regenerasi Petani, dan Upaya Menekan Krisis Pangan

Setelah Menteri Pertanian menetapkan harga pangan tetap aman kepada publik. Tak ada kerisauan yang perlu ditakutkan, mengingat penyumbang inflasi tertinggi bangsa ini dipengaruhi 90 % tinggi rendahnya harga pangan, termasuk beras. 

Peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan dibuktikan melalui pemanfaatan 6800 sumur bor  dan 16 waduk di berbagai daerah, namun kesanggupan kita tak akan bertahan selamanya ketika musim kemarau mempengaruhi jumlah debit air, walau kemungkinan-kemungkinan besar dalam penyelesaian masalah tersebut cukup besar untuk diatasi. 

Tapi ketika konteks nya di ganti jika melihat sumber daya manusia di sektor pangan ? inilah yang perlu dikhawatirkan.

Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pengguna lahan di Indonesia  telah terjadi penurunan sebesar 4.668.316 (15,35%) rumah tangga dalam satu dekade. Artinya, setiap tahun, rata-rata sejumlah 466.800 petani pengguna lahan meninggalkan profesinya. Fenomena ini tak lepas dari modernisasi dan kesejahteraan para petani yang terbilang miskin. 

Sehingga menimbulkan presepsi di mata masyarakat, bahwa profesi petani sangat identik dengan kemiskinan, berpendidikan rendah, dan pekerjaan kasar yang tak harus dicita-citakan.

Konstruksi sosial yang telah terbangun di alam bawah sadar masyarakat, menjadi alasan kuat mengapa generasi muda lebih memilih bercita-cita menjadi Aparatur Sipil Negara daripada bertani. Generasi muda Indonesia makin banyak yang menjauhi profesi sebagai petani, bahkan di kalangan mahasiswa lulusan fakultas pertanian itu sendiri. tak adanya regenerasi di sektor pangan menandakan awal dari kemelaratan bangsa Indonesia di masa depan.

Adanya pengaruh Industrialisasi, Free Market,dan Urbanisasi menjadi alasan gairah pereknomian bangsa yang semakin manja akan investasi asing. Tak heran pertumbuhan eknomi melonjak sedemikian pesat di Pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Namun pertumbuhan ini tak semata dijadikan refleksi melainkan mengingatkan kepada generasi muda bahwa peran Industrialisasi pengolahan adalah sumber perekonomian negara yang mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan padahal dari sisi geografis, negeri ini memiliki corak kebudayaan geografis. 

Oleh karena itu, eksistensi petani harus tetap di jaga dengan memaksimalkan kesejahteraan mereka yang selama ini cenderung diabaikan, sehingga petani tak perlu risau dalam memenuhi kebutuhan finansialnya, dengan begitu generasi muda akan lebih tertarik berprofesi sebagai petani.

Selain kesejahteraan, memadukan pertanian konvensial plus pengenaan konsep modern seperti Pertanian rumah kaca atau Hidroponix merupakan batu lompatan dalam meningkatkan produksi pangan di masa depan. Namun kendala di bidang ini ialah perkara modal yang cukup besar, tak heran Petani harus memutarbalikkan otaknya dalam mengumpulkan modal. Meskipun koperasi petani sudah ada, hal itu belum lah cukup untuk mengembangkan model pertanian modern.

Sebaliknya pertumbuhan minat Petani terjadi di beberapa negara maju, khususnya Amerika Serikat di mana sektor pertanian dalam kurun waktu januari hingga desember 2017 berkembang demikian pesat. Berdasarkan laporan Agricultural Statistics Agency, Profesi Petani begitu seksi di kalangan anak muda. Mengingat petani muda di negeri “Paman Sam” tumbuh sekisar 20 % juga terdapat 68% diantaranya adalah Sarjana.

Perkembangan ini semata-mata terjadi lantaran kehidupan monoton di kota-kota besar, jadi sangatlah naif menjadi petani hanya karena uang sedangkan para sarjana Amerika justru hidup lebih sejahtera di perkotaan.

Di samping itu semua, ada yang menarik jika kita menilik kesamaan antara kedua negara, salah satu problem krusial di sektor pertanian tak lain ialah perkara modal, dan sengketa tanah.

Melihat apa yang terjadi di Indonesia, kita pun menyadari negeri ini tak terlalu fokus di bidang Industri berat.

Selain karena sumber daya manusia yang belum mendukung, masih banyak yang harus di benah oleh pemerintah sehingga untuk mengatasi sektor pertanian yang memang merupakan watak dari kearifan lokal dapat terus dijaga jika seandainya pemerintah Indonesia mau mengucurkan dana melimpah di sektor pertanian ketimbang sarana dan prasaran infrastruktur, dan yang terpenting ialah mengembalikan kedaulatan pangan kepada petani bukan pihak swasta, jangan biarkan koorporasi Pertanian merajalela.

Kedaulatan Petani

Menurut sebagian orang ini adalah langkah dalam menjaga kearifan lokal. Diiringi rasa kecintaan negeri ini akan sejarah masa lalu sebagai negara berswasembada pangan terbesar di Asia. Namun dalam peningkatan produktifitas pangan melalui modernisasi pertanian di bawah ‘pengawasan’ TNI bukanlah solusi yang baik karena terlalu mendiskriminasikan seolah terhambatnya produksi pangan terjadi karena ketidakdisplinan petani.

Pengerahan Korporasi sebagai investor dengan model contract farminguntuk peningkatan produksi pangan, hal ini terlihat dari program-program PIS-Agro, produksi CPO untuk bio-fuel. Semua program yang dilaksanakan pemerintah selama tahun 2015 tersebut justru melanggar prinsip kedaulatan pangan dan bahkan memicu perubahan iklim.

Akhirnya bahwa kebijakan produksi melupakan kebijakan di alat produksi, sehingga Kementan lebih memilih pemberian alsintan dan input pertaniannya daripada mengusahakan tanah kepada petani sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh Presiden Jokowi.

Peningkatan produktivitas pangan selain memperhatikan iklim tanah, kesejahteraan, dan kedaulatan petani. Juga harus merancang inovasi-inovasi baru guna mengatasi harga-harga pangan di pasaran yang biasanya melonjak menjelang hari-hari besar maupun di penghujung tahun.

Urban Farming

Pertanian di wilayah sekitar perkotaan memainkan peranan yang sangat penting dalam peningkatan produksi pangan, beberapa daerah seperti jawa barat sudah mulai menerapkan ini. 

Jika kita melihat letak geografis bangsa Indonesia, khususnya pulau Jawa, bisa dikatakan lahan pertanian jauh lebih kecil bila disandingkan dengan wilayah perkotaan. Faktor luas tanah ini bisa dijadikan momentum apakah pertanian di perkotaan jauh lebih efektif dan efisien, atau sekedar menjadi cadangan bahan makanan semata ? mungkin manfaat urban farming sebagai cadangan pangan jauh lebih realistis.

Manfaat Urban Farming juga akan memberikan kepuasan pada saat memanen dan juga mengkonsumsinya. Panen dari tanaman yang dimiliki sendiri juga dapat menghemat pengeluaran uang belanja yang di anggarkan untuk membeli sayur atau buah. 

Selain itu, lingkungan pekarangan juga akan menjadi lebih indah dengan tampilan hijaunya daun dari sayuran dan buah-buahan. Jangan banyak berpikir jika ingin memulai kegiatan bertani di pekarangan rumah, area perkantoran dan gedung pencakar langit di perkotaan (urban farming).

Lalu dimulai darimana ? jika kita berpikir Urbanisasi adalah sesuatu yang tak terelakan, saya rasa Pemerintah daerah harus memaksimalkan sosialisasi terkait pertanian perkotaan. Namun Pemerintah Daerah belum lah cukup, selain karena faktor kuantitas sumber daya, dibutuhkan pula Sarjana Pertanian, atau paling tidak dibentuk badan pelayanan pertanian di berbagai kampus sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. 

Mulai dari Urban Farming setidaknya generasi muda bisa lebih berperan dan termotivasi untuk menjadi petani yang bermanfaat bagi kebanyakan orang. Dengan begitu bangsa ini tak perlu was-was akan mandeknya regenerasi petani, terutama bagi sarjana pertanian yang enggan menjadi petani. (PI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *